[ONESHOT / PG+15] Mae’s Box of Memories: “Lies Beyond Your Eyes”


credit by azura-chan (ezra @ artfratermyra)

 

Title: Mae’s Box of Memories: “Lies Beyond Your Eyes”
Author: Azura-chan (chingzz)
Beta Reader: hanashinki@wordpress.com
Rating : PG+15 / straight
Pairing: Kim Hyung Joon (SS501) and OC
Other Kim Kyu Jong (SS501)
Genre: Angst, Fluff, AU
Length : Oneshot (2570 words)
Disclaimer: I don’t own Kim Hyung Joon and Kim Kyu Jong characters here. They belong to themselves. Mae is my original casts, and she belongs to me. This story is only a fiction. So please don’t sue me.
A/N: This story is based on Eminem’s MV, titled “Love the Way You Lie”. The song was inspiring me, so I decided to read the lyrics, and wrote it as a fan fiction. Just for your information, I made this with disordered plots, so you must think a bit harder to get into the story.

#01


Kebohongan adalah hal yang sangat menyakitkan. Dusta meracuni otak, dan rasa itu merebak, meretakkan rongga dada. Memang dirinya tak tahu bahwa aku tetap diam, dan bersembunyi dalam kegelapan; berusaha untuk menutupi kecurigaan itu. Namun nyatanya, aku mengetahui semuanya. Dekapan yang melingkar di pinggangku, ciuman yang mendarat di bibirku, itu adalah palsu.

****

Cahaya timur berangsur muncul. Lingkaran hangat itu masih meliputi diriku. Hyung Joon masih berada di sana. Tepat di samping, memeluk pinggangku. Aku meringkuk, berusaha untuk merapatkan diri.

Tangan dinginnya tersampir di bahuku. Coretan pena yang tertinggal semalam masih tergurat di punggung tangannya. Lagi-lagi sebuah deretan angka. Aku menghela napas, menahan kepedihan yang merajam dadaku seketika.

“Morning, chagi…” Aku terdiam, tak sanggup melontarkan kata-kata. Ia mengusap pipiku lembut, namun tanganku malah menampiknya.

“Hey! Ada apa?” ujarnya, penuh tanya.

Aku segera bangkit, terduduk di atas tempat tidur. Gigiku mengerenyit, menahan dingin yang menusuk kulit. Kamisolku terlalu tipis untuk melawan kesenjangan cuaca. Namun, aku rasa ketidakadilan ini telah merambah diriku melebihi kesenjangan itu.

Ia menarik tanganku untuk kembali berbaring, tetapi aku menolak. Kudorong tubuh ringkih itu dengan cepat.  Kemudian aku berlari dan turun dari tempat tidur.

Sampai kapan ia akan membohongi diriku dengan dusta keji itu? Semanis apa pun aku tersenyum, sepertinya itu hanyalah gambaran bodoh yang terlukis di otaknya.

“Cukup, aku pergi sekarang.” Tanpa persiapan apa pun, tanganku langsung meraih tas, dan melangkah tak acuh ke arah pintu keluar.

Alih-alih beranjak pergi, tanganku malah tertahan oleh sebuah genggaman menyakitkan.

“Cukup, hentikan semua omong kosongmu! Ini bukan dirimu!” Matanya membelalak, memerintahkan tubuhku untuk mengikuti perintah itu. Bibirku bergetar, menahan semua ketakutan.

“Omong kosong?! Kukira, kau yang harus menutup mulutmu, dasar penipu.” Genggaman itu mengendur. Ia terengah. Matanya menyipit, berusaha menjelaskan sesuatu kepadaku.

“Mae, kumohon. Angkat barang-barangmu dan kembali masuk,” ucapnya, tertatih. Aku terdiam. Jantungku berdegup cepat.

“Jelaskan padaku, nomor siapa lagi yang kau tulis di tanganmu?!” Tetes air mulai menggenang di pelupuk mataku. Aku terisak, menunggu sebuah jawaban—yang kutahu, palsu—dari bibir itu.

“Dia—dia bukan siapa-siapa, yang terpenting dalam hidupku hanya kau, Mae.” Bualan itu terlalu hina untuk kudengar. Seringai rayuannya begitu rendahan, tak dapat mengaburkan kepedihan yang telah terpatri dalam hatiku.

Aku terbahak, membalas ucapannya dengan cemooh kasar. Dengan cepat kudaratkan sebuah pukulan telak di perutnya. Ia meringis, namun pemberontakkanku tak berhenti sampai di sana. Kedua tanganku mendorong seonggok tubuh itu, hingga ia terjengkang membentur permukaan sofa.

Aku melangkah pergi tanpa rasa iba. Rumah ini sudah bukan milikku. Sebagian kenangan itu kini telah pergi, tersela di antara dusta yang berambigu.

****
#02

Ia begitu arogan. Seringai cibirannya masih terukir di dinding otakku. Aku tak ingin kalah begitu saja. Sesaat sebelum kami bertemu, aku dan dirinya hanyalah dua orang yang mengumbar kebanggaan. Kami bersaing untuk menemukan seseorang yang lebih kuat dari yang lain.

****

“Hyung Joon—Kim Hyung Joon.”

Aku menyambut tangan itu dengan sedikit canggung. Bibir bawahku tergigit, menahan malu.

“Aku Mae,” ucapku, singkat. Ia tersenyum, membalikkan tubuhnya, menuju sofa melingkar yang dipenuhi para wanita malam.

Aku mengumpat. Hampir saja ia jatuh dalam perangkapku, namun tak disangka, ternyata ia lebih cerdik dari yang kukira. Dengan bibir yang masih menggerutu, aku kembali mengangkat stick billiard yang tersandar di tembok.

Pria di sampingku tampak terkejut, melihatku memasukkan dua bola—berwarna kuning dan merah—sekaligus. Sudut bibirku terangkat, menyunggingkan senyum kemenangan. Namun tanpa kukira, tiba-tiba saja si pria sok jagoan—yang bernama Hyung Joon—itu merebut stick dari tanganku.

“HEY!” Aku memekik, tak terima.

Tanganku teracung, hendak memaki dirinya di tengah kerumunan, tetapi tenggorokanku malah tercekat, melihat kepiawaiannya bermain billiard. Tepuk tangan para penonton mendadak bingar, memenuhi kesenyapan ruang.

“Bagaimana? Ingin bertaruh?” bisiknya. Aku merasa tertantang. Jemariku dengan cepat menyematkan beberapa lembar uang di sela telapaknya.

“Jika kau menang, ambil uang itu.”

Tanpa basa-basi, kurebut stick itu dari tangannya. Mataku mulai memicing, mengukur arah bola licin yang terpampang.

Sepertinya aku akan menang telak, sorakku dalam hati. Sudut mataku menangkap sosoknya yang menyeringai rendah. Aku tak terima. Dengan cepat kusodok bola putih itu. Namun sialnya, bola itu malah meloncat tak terarah.

Aku menghela napas, memasang paras kecewa sembari menyerahkan stick-ku padanya. Ia merebut cepat dan melangkah ke arah pool.

Bola-bola itu melesat dengan mudah, memasuki lubang-lubang yang tersampir di sudut meja. Aku tertunduk malu. Hatiku mulai merasa gamang, tak rela jika ia akan merebut secarik kemenangan itu dariku.

“Sudahlah, aku menyerah. Kau yang menang,” ujarku cepat, alih-alih meninggalkan tempat.

“Eits, kau ingin pergi ke mana?” Ia menahan pergelangan tanganku. Dan jemari lincah itu menyelipkan kembali uang yang tadi kuberikan padanya. “Aku tak butuh uang ini.” Diriku terperangah, seolah tersadur olah kemurahan hatinya.

“Tapi, sebagai gantinya. Kau harus ikut denganku sekarang.” Ia mengambil beberapa botol beer dari atas meja.

Manik mataku mengerling, bertanya-tanya akan hal yang ia lakukan barusan. “Hey, apa yang kau lakukan?” Aku tak rela membiarkan dirinya membawaku pergi tanpa tujuan.

“Ikut saja.” Tanganku langsung menyambar jacket hitam yang tergeletak di atas meja.

****

#03

Jari-jarinya terselip di antara sela jemariku. Lengkungan sempurna itu membentuk senyuman tulus yang terukir dalam birama kehidupanku. Sesaat aku merasa bagai menemukan surga, bertemu seorang malaikat. Ia mengajariku menerawang cahaya langit, berlarik terindah.

****

“Giliranmu.” Ia melempar botol beling itu ke arahku.

Aku menangkapnya dengan cepat, lalu menegak cairan pahit di dalamnya. Ia tertawa melihat gayaku itu, namun kedua manik mataku sudah terlebih dahulu membungkam  kalimat ejekannya.

“Apa yang kau lihat?!” sentakku. Ia tertunduk, menahan gelak tawa.

“Lihat… hari sudah menjelang fajar!” serunya, tiba-tiba.

Pandanganku teralih; menerawang jauh, menuju telunjuknya yang teracung di depan. Kabut yang semalam melayang di udara, kini turun, menebarkan kesejukan.  Aku menutup mata, merasakan dingin yang menyegarkan jiwa.

Tak kusangka, seseorang telah melingkarkan lengannya di pinggangku. Aku mengintip kecil melalui celah pejaman. Hyung Joon, seruku dalam hati. Entah apa yang membuat jantungku berdebar. Ini memang bukanlah perasaan pertama yang kurasakan, namun aku ragu untuk merasakan hal ini kembali.

“Hyung—”

“Ssshh..” Ia berbisik, menjagaku agar tetap tenang dalam dekapannya. Kurasakan wajahku memanas di antara sekujur tubuh yang kian membeku.

“Untuk taruhan semalam, aku ingin kau membayarnya dengan perasaanmu.” Mataku membelalak.

Please, aku ingin kau serius sekarang,” ucapku, sinis.

“Jadi, kau menganggapku tidak serius?” balasnya, menggenggam tanganku. Topeng yang dikenakannya semalam seolah raib seketika. Wajah beringas itu seolah tergantikan oleh sebuah senyuman manis yang tersungging di sudut bibirnya. “Aku serius, Mae. Jadi, bagaimana tanggapanmu. Ikut atau tidak?” lanjutnya.

Perasaanku bagai terporak-porandakan oleh angin topan. Aku tak menyangka bahwa ia akan mengencaniku pada hari pertama kami bertemu. Ucapannya itu terdengar seperti suatu candaan yang sama sekali tidak lucu.

“Tahu apa tentangku? Kita baru saja bertemu semalam, dan sekarang… kau ingin mengencaniku? Jangan pikir aku terhasut oleh pesonamu.”

Aku tak ingin dianggap sebagai gadis yang murahan. Sekalipun hatiku berdebar saat berada di sisinya, namun aku yakin, perasaan ini bukanlah apa-apa.

****
#04

Aku membutuhkannya. Mungkin lebih dari segalanya. Memang diriku seorang yang egois, tetapi aku tak ingin ia pergi. Aku takut malaikat bersayap hitam itu pergi dari kehidupanku.
Jadi tolong, tetaplah di sisiku…
 

****

“KAU! TUTUP MULUTMU!” Gigi-giginya saling bertumbukkan, menahan amarah yang meluap dari dasar hati.

Suara petir membahana, membelah ketegangan di antara kami. Tak ada yang dapat kulakukan, selain meringkuk. Kedua kakiku bersimpuh di atas lantai pualam dingin, menahan semua ketakutan yang bergemuruh.

Hyung Joon menerima surat panggilan itu. Ia akan pergi jauh, meninggalkanku. Kabar yang telah lama disimpannya, akhirnya terucap. Aku pun tahu, dan sekarang ia rela melepaskan tanganku hanya untuk menerima pekerjaan rendah itu.

Aku terdiam, tak berani membalasnya. Tubuhku semakin meringsut, merapat ke arah tembok. Ia membanting kertas yang digenggamannya, lalu berjalan pergi melintasiku—menuju ruang tengah.

Untaian detik kian menyatu, helaian jam pun tak terasa telah berlalu. Aku terduduk dengan bercak air mata yang mengering di pipiku. Seluruh semangat itu seakan lenyap.

Perlahan pintu di hadapanku berderit, terbuka, dan sesosok yang kukenal muncul di baliknya. Aku tak berani menatap. Kepalaku tetap menunduk, hingga sebuah benda terulur.

“Untukmu.” Suara khas Hyung Joon terdengar. Aku menegakkan kepala, dan mendapati sebuah boneka yang berada di tangannya.

“Jangan menangis lagi.” Ia menghapus sisa-sisa air mata yang masih bersimpuh di bawah kelopak mataku. Perlahan aku bangkit—sementara ia berkacak pinggang.

Hatiku tak dapat menyimpan kelegaan itu. Dengan sigap kutangkap pinggang kokohnya dalam dekapanku. Aku menangis sejadi-jadinya.

Gomapda.” Hanya kata itulah yang dapat terisak dari bibirku.

Mianhae, aku berjanji untuk tetap di sisimu.”

****
#05

Luficer, malaikat yang terjatuh oleh karena keangkuhannya. Lalu, apakah malaikatku telah berubah wujud, sama seperti makhluk keji itu? Walaupun rantai ini telah terberai darinya, tetapi keangguhan itu masih saja tetap mengusikku—meleraiku untuk mendapatkan kebahagiaan yang baru.

 

****

“Kau ingin beer?” tawarku, mengulas senyum.

“Boleh.” Kyu Jong—yang sedang berkutat dengan stick billiard-nya—mengangguk sekilas.  Kaki jenjangku segera berlari, menghampiri meja bar, dan memesan  beer untuk kami berdua.

Tak ada yang spesial sejak kepergianku dari rumah Hyung Joon. Semuanya tampak biasa. Fajar berganti, namun hatiku tetap saja dihunjam oleh perasaan tak rela. Terkadang aku merasa bodoh. Dengan begitu pandirnya, aku berani merasakan perasaan aneh itu.

“Bagaimana dengan si picik kesayanganmu? Kau meninggalkannya begitu saja?” tanya Kyu Jong, menatapku. Aku mengedikkan bahu, bersikap sok tak acuh dengan pertanyaan itu.

“Biarlah dia hidup dengan pacar barunya,” ujarku, sinis.

“Benarkah? Hati-hati dengan ucapanmu, Mae. Aku tahu, kau masih penyimpan perasaan padanya. Hubungan dua tahun, tak akan semudah itu kau lupakan.”

Aku menghela napas. Ucapan Kyu Jong—sahabatku—memang benar. Selama seminggu ini aku berusaha untuk tegar. Selalu menatap lurus ke depan, tanpa mengulik kisah yang berada di belakang. Namun kini, diriku merasa tersiksa; melihat dirinya menjauh, seakan terkekang dalam lingkaran neraka.

“Kau ingin menjenguknya?”

Aku mengendus, menganggap remeh tawaran itu—tatkala otakku memikirkan harga diri yang akan terinjak-injak.

“Mae, kau memang telah ‘membuang’-nya, tapi tolong jujur pada perasaanmu.” Kyu Jong menarik tanganku; untuk mengikuti langkahnya. Namun, kakiku seolah tercatut pada lantai kayu. Bulu kudukku meremang, seiring aku menemukan sosok itu di antara para pelanggan pub.

“Joon,” bisikku, parau.

Kyu Jong terdiam, ekor matanya tertuju; tepat pada sosok yang kumaksud. Kami berdua bagai mematung. Perlahan Kyu Jong melepaskan genggamannya pada tanganku, namun semua sudah terlambat. Amarah Hyung Joon telah membuncah; melebihi yang kukira. Matanya berkilat. Dan kedua kaki itu melangkah lebar, menghampiri kami.

“Kau menuduhku memiliki wanita lain. Lalu sekarang, kau malah bermesraan bersama pria ini. Dasar munafik.”

“Cukup, jangan menuduh yang tidak-tidak, Joon! Ini Kyu Jong, sahabat—”

“JANGAN COBA MEMBOHONGIKU, MAE!”

Hyung Joon memukul keras meja pool di hadapannya. Tubuhnya berbalik, menatapku dengan tatapan menusuk. Aku berusaha untuk tetap tegar, menahan onggokan air yang mulai singgah di pelupuk mataku.

“Membohongi? Kurasa, kau yang terlalu pencemburu,” balasku, datar. Ia terdiam, menatapku—dan Kyu Jong—dengan pandangan merendah.

Tiba-tiba saja tinjuan kasar mendarat di pipi sahabatku. Aku memekik terkejut, dan berpuluh-puluh pasang mata langsung tertuju pada kami.

Hyung Joon sudah sangat keterlaluan. Aku menghampiri sahabatku yang tersungkur di lantai, namun ia malah menampik tanganku.

“Aku setuju pada keputusanmu, Mae. Tinggalkan pria ini,” ujarnya, berbisik di telingaku.

Ia segera bangkit, dan membalas tinjuan itu. Hyung Joon terengah, meringis kesakitan, menahan luka kecil yang bersarang di sudut bibirnya.

Bibirku bergetar hebat, memekikkan perintah di tengah kerumunan itu. “CUKUP!” Dengan cepat kutarik tangan Hyung Joon keluar dari arena pertarungan.

****

#06

Hanya ada aku dan malaikatku di tengah lingkaran api itu. Air mukanya menjerit akan sebuah pertolongan. Namun, aku berusaha menghalau rasa ibaku untuk menyusup keluar. Ia sudah bukan malaikat yang kukenal. Dan aku tak ingin melepaskannya begitu saja daripada penghukuman, akan tetapi risau ini mengiris hatiku sedikit demi sedikit.

****

“Sebenarnya apa maumu, Joon?!” jeritku di tengah isak tangis. Ia menarik napas dalam, berusaha untuk mengerti keadaan.

“Aku mau kau kembali. Jadi, untuk apa kau pergi ke pub itu dengan Kyu Jong, huh?!” Ia mendorong tubuhku, menabrak dinding. Telujuknya teracung tinggi, hendak menuding diriku sebagai sosok yang bersalah.

“Apa pedulimu?!”

“Aku masih memiliki status denganmu, Mae! Jadi, sudah jelas aku memiliki hak untuk peduli!”

BRAK! Ia meninju keras dinding di sampingku. Aku terkesiap, menunduk; tak berani manatap manik matanya. Alibi yang terucap dari bibir itu tak sanggup merekatkan kembali keping hatiku.

“Hubungan kita sudah berakhir, Joon. Tolong lepaskan aku!” Aku menatap dirinya, lurus. Namun, ia tetap urung melepaskan cengkraman kuat itu.

Perlahan sorot mata itu berubah. Segelintir cairan mengisi pelupuknya. Ia  menangis, menghempaskan kepalanya di bahu kananku. Cengkraman itu mengedur. Aku hanya dapat berdiri, membeku. Samar kesedihannya membuatku iba, tanganku pun terulur, membenamkan tubuhnya dalam dekapan.

“Kau akan kembali padaku, ‘kan?” Ia meraih wajahku.

Aku menggeleng, “maafkan aku, Joon. Kurasa, aku tak dapat kembali padamu.”

Kata-kataku membuatnya kecewa seketika. Ia bangkit, dan menyulut sebatang rokok di sampingku.

“Joon!” bentakku, “sejak kapan kau merokok?”

Ia mengendus, tak mengacuhkan pertanyaanku. Aku segera menarik rokok yang dihisapnya.

“Apa hakmu, huh? Aku mati sekalipun, kau tak akan peduli, iya ‘kan?” Aku terdiam. Emosiku membuncah.

“Oh, jadi kau marah? Biarlah aku mengakhirnya jika begitu.” Hyung Joon melangkah cepat, mendekati lemari penyimpanan beer. Ia menggulingkan lemari tinggi itu dengan mudah.

Aku terperangah. “Joon, apa yang kau lakukan?” Gigiku bergemeletuk, menahan rasa khawatir.

“Aku hanya ingin membuktikan perlakuanmu, itu saja.” Sedetik kemudian, Hyung Joon mengeluarkan pemantik api dari sakunya. Benda itu menyala, dan perlahan genggamannya terlepas. Pemantik itu jatuh, menghunjam tanah. Api tersulut, mengelilingi dirinya.

YA! Joon! Apa yang kau lakukan?! Kau sudah gila!” Aku menjerit, berusaha menolongnya, melewati lingkaran kematian itu.

“Pergi dari sini, Mae! Tak perlu peduli padaku!” bentak Hyung Joon, terbatuk.

Air mata perlahan membanjiri pipiku. Aku berlari keluar pintu, mencari bantuan, tetapi hari sudah menjelang fajar, tak ada orang yang tetap terjaga selama itu.

Asap tebal mulai mengepul. Aku berteriak histeris memanggil namanya, namun tubuh Hyung Joon malah ambruk di tengah kobaran api. Ia tak sadarkan diri.

Jantungku berdegup kencang. Di depan mataku hanya ada asap penghalang. “JOON?!” tanyaku, terisak. Ia tidak menjawab.

Kulihat keadaan di sekeliling. Plafon-plafon rumah sudah mulai bergemeletuk, terbakar oleh jilatan api. Perasaanku begitu tak meyakinkan. Keringat bercucuran di pelipisku, membisikkan nazar kebinasaan.

“Ketakutan, hanyalah perasaan yang dapat menghancurkan dirimu secara perlahan. Aku yakin, kau tidak selemah itu. Jadi berjanjilah untuk tidak menangis. Kau pasti bisa mengatasinya. Sebut namaku jika begitu.”

“Joon,” isakku, parau. Kata-kata itu seolah menyihirku. Aku terdiam; merenung, sekaligus menyesal. Berminggu-minggu aku berkata pada orang bahwa aku tak peduli pada hidupnya, namun sekarang aku tahu, aku tak dapat hidup tanpa dirinya.

Lembaran memori itu muncul bagai gambaran yang berputar dalam otakku. Saat di mana kami bercanda, bertengkar, hingga hari kehancuran itu pun datang. Aku menyesal. Tak seharusnya aku memperlakukan Joon dengan begitu tak adil.

Kugigit bibir bawahku, menahan ketakutan. Dengan ancang-ancang dari jarak jauh, aku pun berlari, dan menerobos jilatan api yang mulai menggerogoti pelataran rumah. “Joon?!” Aku terus mencoba untuk memanggil namanya.

Sosok bayangan hitam itu tampak, tergeletak di tengah kepulan asap. “JOON!” Aku berteriak, menghampirinya.

“Mae, cepat tinggalkan tempat ini,” ujarnya, lemah. Aku menggeleng, yakin. Namun, ia  tetap bersikukuh untuk mendorong tubuhku menjauh.

“Bodoh! cepat—” Makiannya terhenti seiring dengan air mataku yang kembali berjatuhan.

“Iya, aku tahu, aku memang bodoh.” Joon mengecup keningku. “Sshh.. jangan menangis,” ujarnya.

Aku berusaha menahan isak tangis itu, tetapi rongga dadaku sudah terlanjur dipenuhi gas beracun. Aku terbatuk, dan Hyung Joon membenamkan kepalaku pada dada bidangnya itu.

****
Kau tahu, tak seharusnya aku cemburu. Cinta bukanlah perasaan yang memaksa. Cinta adalah perasaan indah yang selalu bersemangat. Namun, apa yang kuperbuat? Dengan bodohnya, aku bersikap egois, sekarang aku menyesal. Andai saja kotak memoriku dapat terputar kembali—saat pertama kami bertemu—mungkin saja aku akan merasakan secercah kebahagian di akhir hayatku.

**FIN**

11 thoughts on “[ONESHOT / PG+15] Mae’s Box of Memories: “Lies Beyond Your Eyes”

  1. wah chingu ff nya keren, meskipun aku kurang begitu suka ma tapi bukan sama semua membernya ss501 , cuma 1 orang aja sih yang kurang begitu ku suka, tapi ku suka jalan ceritanya. keren….^^
    o iya chingu…jangan lupa mampir ke blog ku ya, http://alwayskpop4ever.wordpress.com/
    q juga udah buat ff chingu, yah meskipun kurang begitu bagus. jangan lupa kunjungi blog q ya chingu ^^

    • sankyuuu yah udah baca 🙂
      saia emang sengaja bikin castnya SS501 soal jarang yang nulis ff mereka, hahaha XDD
      oke deh.
      ntar kalo saia ada waktu, pasti saia mampir ❤

    • wah, sankyuu banget udah baca ff saia 🙂
      iyah~
      pan saia emang bikin berdasarkan lirik dan MV-nya, pastinya sama dongs.
      Kecuali end-nya, saia karang dikit, soal EMINEM terlalu ‘sadis’ menurut saia hahaha XDD

    • huhahaha~ gomenne kalo mengecewakan end-nya m(_ _)m
      ini saia buat berdasarkan MV-nya sih,
      Joon emang rada psycho gitu, jadi pastilah bakal sad end untuk keduanya 🙂

Tinggalkan komentar