cast: shim changmin, yoon chae rim, mr. & mrs. shim, and other
pg: 16+
genre: romance, drama
author: icha aka novika
Opening . . .
Jangan melakukan apa yang orang ‘suka’!
Karena belum tentu itu juga kau ‘sukai’!
Tapi lakukanlah apa yang kalian ‘sukai’!
Dengan begitu, hatimu jadi lebih senang saat melakukannya.
. . . . . . . .
Aku merasa lega karena Jae-hyung sudah kembali kerumah. Biarpun penampilan kami di Osaka sempat tertunda, tapi kami tetap tampil di hari kedua. Cukup lega namun juga sangat terkesan. Karena pada saat itu aku tahu, bahwa apa yang ada didepan mata kita itu gak selamanya seperti apa yang ada ditampilannya, sampai kita membuka bungkusnya lalu melihat kedalam dan merasakannya.
Begitu juga tentang Jae-hyung. Ia selalu menjadi orang pertama yang menyangga kami saat jatuh. Tapi kami sama sekali gak tahu kalau Jae-hyung punya kehidupan masa lalu yang begitu rumit.
‘Jae-hyung, kuharap kau selalu menjaga Noona. Ia orang yang baik.’ batinku.
Roda mobilku berputar diatas jalan dengan kecepatan 40 km/h. Alunan musik orchestra terasa membiusku lewat nada-nadanya yang indah. Begitu lembut dan syahdu seperti krim lembut yang menyentuh kulitmu. Ringan seperti kapas.
Aku sangat menikmati musik ini sampai dering ponselku membuyarkan kesyahduan yang tercipta. Aku celingukan untuk menepi didepan sebuah toko es krim.
Setelah menepi, kumatikan mesin mobilku. Tapi bunyi ponselku sangat berisik hingga membuatku terusik lalu segera mengangkatnya. Berhubung bunyi ponselnya adalah ‘Angkat! Angkat! Angkat! Kalo gak diangkat, nanti mmandong-ee gak akan kukasih makan seminggu!’ itu terus berulang-ulang. Mana suaranya cempreng hingga kupingku rasanya jebol. Itu adikku yang tengah, Soo Yeon.
“Yoboseyo, dongsaeng?” jawabku.
“Oppa dimana?” tanyanya.
“Dijalan nih. Mau pulang. Waegurue?” tanyaku balik dengan nada lembut.
“Oppa ditunggu dirumah. Cepat pulang ya. Sampai jumpa.” pungkasnya lalu terdengar bunyi tu… tut… setelahnya.
Mataku menatap heran ke layar ponselku.
“Tumben bicaranya dilembut-lembutin. Dikit banget lagi ngomongnya.” gumamku heran.
Karena dongsaeng-ku ini terkenal dengan cerewet dan suara cemprengnya.
“Berarti ada sesuatu yang terjadi. Ok. Ayo kita pulang.” ucapku pada diri sendiri lalu mulai menghidupkan mesin mobil dan segera melaju pergi dari situ.
“Danyeo watseumnida!” salamku ketika Butler membukakan pintu untukku. Serentak semua wajah diruang tamu minimalisku berpaling padaku.
“Oeseosseoyo!” sambut mereka dengan beberapa suara tertinggal.
Ibu langsung berjalan menyambutku sementara ayah yang sedari tadi disampingnya, hanya tersenyum menatapku. Aku sendiri??? Dengan ekspresi kebingungan mencoba menebar pandangan diseluruh wajah diruangan ini. Sementara tanganku diseret ibu dan aku hanya mengikutinya dengan langkah pelan. Kulihat wajah Soo Yeon, adikku terlihat bete, lalu 3 orang lagi sepertinya satu keluarga. Orang tua dan anak serta gadis kecil berambut panjang. Ketika mata kami bertatapan, seperti ada biola yang bermain di otakku. Memainkan nada yang syahdu namun penuh kesedihan. Ia buru-buru menunduk.
“Ini anakku, Shim Changmin.” kata ibu memperkenalkanku pada mereka.
Aku segera menatap ibu yang tingginya hanya 150cm itu. Aku yang tingginya 187cm, otomatis aku menunduk mencari-cari wajah ibu. Tapi ibu malah mencubit pinggangku dengan gemas.
“Adududuh!!” pekikku sampai menekuk pinggang kananku saking sakitnya.
“Umma!” rajukku.
“Perkenalkan dirimu!” kata ibu gemas dengan suara berbisik.
“Naneun Shim Changmin imnida. Mianhe atas ketidak sopananku barusan.” ucapku sambil meringis menahan sakit.
‘Gila! Cubitannya sakit banget!’ -“-
“Tidak apa. Perkenalkan, kami dari keluarga Yoon. Namaku Yoon Yu Jin. Ini istriku, Jang Myun Min dan disamping istriku itu adalah anak kami, Yoon Chae Rim.”
Mereka saling mengucapkan salam satu per satu. Tapi Chae Rim… kenapa ia hanya membungkuk tanpa terucap sepatah kata pun dari mulutnya? Padahal aku ingin tahu seperti apa suaranya.
Kami duduk bersama di gazebo ditengah taman dengan 2 cangkir teh dan kue kering dimeja. Habis sama para orang tua, kami disuruh pergi ke taman sementara mereka bicara serius.
Beberapa burung yang bertengger di pohon belakang, masuk kedalam lubang pohon karena udara yang masih terasa dingin.
Mataku menatapnya yang tengah duduk dengan wajah menunduk. Sementara jari-jarinya mencengkeram erat papan putih dan spidol dipangkuannya.
“Kau guru, ya?” tanyaku.
Ia tersentak mendengarku bertanya. Ia menatapku takut dengan keringat dingin membasahi tubuhnya.
‘Aduh! Please deh! Reaksimu itu berlebihan!’ batinku.
Ia masih tampak gemetaran. Akhirnya aku diam.
Satu jam lebih waktu terlewat dengan lamanya kami tak bicara. Bukan! Tapi dia gak ngomong sama sekali! Aku yang bete-nya udah di ubun-ubun, segera melipat tangan di dada sambil mendengus kesal.
“Kau ini bener-bener gak mau ngomong sama aku, ya?!” hardikku kesal. -“-
Sejenak aku menyesal telah menghardiknya karena ia terlihat sangat ketakutan hingga ia tak mau mengangkat wajahnya. Tapi tangannya terlihat menulis sesuatu di white board. Aku menatapnya dengan pandangan ingin tahu.
Beberapa detik kemudian, ia mengangkat white board itu didepan wajahnya yang tertunduk.
Aku memicingkan mataku untuk membaca tulisan hangul itu.
“Anniyo. Tapi aku benci suara keras..?”
Aku sadar, aku telah menghardiknya tadi.
“Eh, tapi kan tadi waktu aku tanya kau itu guru, kau sudah ketakutan.” kilahku tak mau kalah.
Barulah ia memberanikan diri menatapku. Ia lalu menghapus white board-nya kemudian menulis lagi. Ia menaruh white board-nya didepan hidungnya. Menyisakan matanya untuk menatapku.
“Mianhe..?” aku mengalihkan mataku dengan cepat padanya yang kini tersenyum padaku.
“Kau benar-benar gak mau ngomong denganku, ya? Sampai-sampai harus ngomong pake white board?” ujarku putus asa.
Ia melambaikan tangan kanannya tanda ‘tidak.’
“Lalu?”
Ia malah menggigit jarinya dan menatapku ragu.
“Jangan bertingkah laku seperti orang bisu!” hardikku lagi. *K.E.L.E.P.A.S.A.N
Ia langsung menjentikkan jari dengan senyum cemerlang yang berkata, ‘Aha!’
“Heh? Apa? Apanya?” tanyaku kebingungan.
Ia menunjukkan lagi padaku white board-nya yang penuh dengan tulisan. Kali ini lebih dekat dengan wajahku. Aku terkejut lalu menatapnya. Tapi ia malah mendekatkan white board-nya padaku, ingin aku membacanya.
“Kau benar. Tapi aku sudah operasi kok.”
Aku menatapnya tak percaya. Dadaku tiba-tiba sesak dipenuhi oleh rasa bersalah. Tapi ia malah tersenyum manis padaku.
“Kau… benar-benar bisu?” tanyaku pelan. Ia mengangguk mantap tetap tersenyum, lalu ia menulis lagi.
‘Tuhan! Maafkan aku telah lancang bicara seenakku!!’ sesalku dalam hati.
“Ya…”
Terdengar suara serak dan parau. Suara itu mengaburkan lamunanku. Kulihat ia sedang berwajah menahan sakit sambil memegangi lehernya.
“Eh! Kau gak apa-apa?!” tanyaku khawatir sambil pindah duduk ke sampingnya.
Ia hanya mengacungkan tangan, tanda bahwa ia baik-baik saja, lalu menepuk-nepuk meja.
“Baca lagi?” tanyaku sedikit protes. Ia mengangguk.
Karena white board-nya miring, aku mengangkatnya.
“Sebenarnya aku belum selesai perawatannya, tapi karena Unnie-ku nikah, aku maksa pulang. Jadi kata dokter, aku harus puasa ngomong.”
Dahiku berkernyit setelah membacanya.
“Puasa ngomong? Berapa lama?”
Jarinya membentuk lambang ‘peace’.
“Dua? Dua hari?” ia menggeleng pelan.
‘Pasti lehernya sakit banget tuh.’ pikirku.
“Dua minggu?” tanyaku mengurutkan waktu. Ia mengangguk.
“Kalo gitu, kau istirahat saja deh dikamar tamu. Kau kelihatan kesakitan banget. Ayo kubantu.” ujarku. Dan ia menurut.
“Mwo?!!” pekikku kaget.
“Aku dengan dia? Dia? Kami… menikah?!” tanyaku dengan nada protes.
“Yup.” jawab ayah mantap. Aku mendesah kesal.
“Ck! Ayah! Ibu! Coba tatap aku! Aku baru berumur 22 tahun! Aku belum tua! Bahkan terlalu muda untuk menikah!” rentetku kesal.
“Aiiiiish! Ckckck! Tak ada bantahan.” kata appa sambil menggoyang-goyangkan telunjuknya, tanda bahwa kata-katanya tak bisa dibantah. Aku menatap umma yang sedang sibuk mencarikan aku air putih.
“Aku tidak butuh air putih, umma!” rajukku.
Terdengar umma menghela nafas sambil menuang air putih di gelas yang dipegangnya. Matanya melirikku tanpa bicara sepatah kata pun.
“Duduklah.” kata umma kemudian. Aku menurutinya dengan kekesalan yang menumpuk. Aku berkali-kali mengusap kepalaku yang terasa pening.
Umma meletakkan gelas yang berisi air putih itu didepanku lalu segera menarik kursi disebelah ayah untuknya duduk.
“Appa tahu kau pasti bingung, kan?”
“Yes of course!” sahutku agak sewot.
“Let me explain it.” tandas ayah kemudian. Sejenak ia tampak ragu lalu menatap umma yang tersenyum seolah memberinya kekuatan.
“Chae Rim… dia…”
“Apa? Kenapa dengannya?” potongku gak sabaran. Appa menatapku lekat-lekat.
“Dia… beberapa minggu yang lalu mendapat musibah. Dan saat itu… ia diperkosa.” kata ayah mencoba menjelaskan dengan hati-hati. Kata-katanya terdengar hilang di bagian akhir. Jadi aku berkata,
“Dia kenapa? Tolong ulangi ayah. Karena tadi suara ayah hilang di bagian akhir.” cetusku.
Ayah menarik nafas pelan.
“Ia hamil 2 minggu karena musibah itu.” sahut ayah dengan nada berbisik.
“Mwo? Maksud ayah… aku harus menutupi bencana yang ia buat sendiri dengan mempertaruhkan karirku?” tuturku dengan nada tajam gak rela.
“Bukan begitu…”
“Lalu apa?” tuntutku.
Ayah terlihat kehilangan kata-kata. Aku tidak percaya 2 orang yang selama ini selalu mendukung karirku , tega menghancurkannya demi gadis ingusan ini. Ayah menunduk sangat dalam.
“Harusnya aku tahu arah pembicaraan ini sejak awal. Mana mungkin gadis belia yang harusnya ada disekolah, belajar. Tapi dia ada dirumah kita dan akan dinikahkan denganku?”
“Aku sangat bodoh karena aku gak menangkap tanda ia hamil. Karena waktu kuhardik, ia kelihatan sangat gemetaran. Emosinya sangat labil!” tambahku.
“Kau menghardiknya?” tanya ibu kaget.
“Ne. karena kami duduk selama 1 jam lebih, tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.”
“Tapi kau tahu ia bisu, kan?”
“Ne. Setelahnya umma-ku sayang. Tapi jangan-jangan ia menipu kita.” cetusku kejam.
“Apa maksudmu?” tuntut appa dengan nada tinggi.
Aku sedikit menelan ludah gusar. Tapi aku gak mau jadi korbannya!
“Mungkin saja ia dulunya emang nakal dan sering tidur dengan banyak cowok. Tapi begitu hamil, ia gak punya calon suami yang mau menikahinya. Lalu dengan memanfaatkan dia anak sahabat ayah, lalu ia datang kemari dengan keinginan aku mau menikahinya. Seorang Shim Changmin. Jangan-jangan dia cuma bisu bohongan.” ujarku menyampaikan kekesalanku. *terdengar cerewet kayak cewek ya^^;;
“Kau keterlaluan, nak!” ujar ayah dengan nada tinggi.
Aku tersentak kaget mendengar nada tinggi yang baru saja ayah lengkingkan dihadapanku. Oh! Telingaku berdenging hebat! Tapi aku gak mau menyentuh telingaku.
“Ayah dan ibu gak pernah mendidikmu untuk sombong dengan kekayaanmu. Kau punya otak cerdas, tapi kau tak punya hati nurani untuk melihat orang dalam diri yang sebenarnya!” maki appa.
Sebuah makian pertama kali yang dilontarkan appa padaku. Pada anak laki-laki kebanggaannya? Aku merasa marah! Kesal! Dan hatiku berkata serempak dengan pikiran jahatku.
‘Ini gara-gara Chae Rim! Sialan kau! Awas ya!’ umpatku dalam hati.
“Ayah yang meminta.” lanjut ayah ketika sudah sedikit tenang.
“Maksud ayah?” tanyaku memberanikan diri.
“Paman Yoon kerumah selagi kau di Osaka. Ia berunding dengan ayah untuk mencari solusi mengenai kehamilan Chae Rim. Tapi ia gak hamil seperti pikiranmu. Ia diperkosa oleh laki-laki yang ditolaknya waktu pulang sekolah. Katanya, laki-laki itu sangat terobsesi dengan Chae Rim. Chae Rim kecil sangat syok dengan kejadian itu, biarpun si pemerkosa telah tertangkap. Mana mungkin ayah menyarankan untuk menggugurkan bayi yang tidak berdosa itu. Makanya… ayah menawarkan bantuan…”
“Dengan aku sebagai bantuannya?” potongku cepat.
Ayah mengangguk.
“Tanpa meminta persetujuanku? Aku anak ayah atau bukan sih?” tuduhku yang merasa tersinggung.
“Ayah tahu ayah salah. Tapi apa kau tak mau membantunya? Ayah mohon.” pinta ayah.
“Oh. Tidak. Jangan memohon seperti itu pada anakmu. Ayah adalah orang tuanya. Aku jadi anak ayah. Tapi kumohon ayah, jangan menyuruh aku menikahi gadis 17 tahun itu.” aku balik merengek memohon dengan suara yang terdengar wajar.
“16 tahun.” ralat ayah.
“Bahkan ia lebih muda dari perkiraanku.” sambarku kesal.
Orang tuaku diam sesaat. Aku juga diam. Diam dan berpikir.
‘Tuhan! Tolong jangan hukum aku karena kau gak mau nurutin permintaan orang tuaku. Aku gak mau bahkan gak bisa membayangkan masa depan DBSK kalau sampai aku menikahinya.’
“Apa kau tidak bisa mempertimbangkannya lagi?” tanya ibu dengan suara halus namun cukup membuyarkan lamunanku.
“Aku gak tau. Capek. Aku mau tidur.” tandasku coba menghindar. Aku beranjak dari kursiku lalu berbalik. Badanku terasa kaku saking kagetnya.
“Chae Rim?” gumamku saat melihat ia berdiri diambang pintu dapur kami dengan wajah bersalah.
Dadaku jadi sesak oleh rasa bersalah. Jangan-jangan ia juga mendengarkan kata-kataku yang kejam tentangnya? Mampus gue! Aku menelan ludah gusar yang terasa sangat besar sebesar bola golf di tenggorokanku.
Tiba-tiba saja diotakku terlintas untuk segera menyeretnya pergi dari situ. Setidaknya kami butuh waktu berdua untuk saling bicara. Ingat! Pernikahan bukan hal main-main! Apalagi dalam keadaan seperti ini!
Kami duduk di gazebo dengan perasaan campur aduk. Antara marah, kesal, cemas dan penuh rasa bersalah yang memenuhi dada kami.
Untuk beberapa menit, kami memilih diam dan membiarkan hembusan angin menyapu kegalauan di hati kami.
“Ehm… “ gumamku buka suara saat tiba-tiba kurasa ada yang mencolek bahuku. Saat kutolehkan kepalaku menatapnya, ternyata white board-nya yang penuh dengan tulisan hangul, telah ada didepan hidungku. Karuan saja mataku membulat kaget.
“Baca?” tanyaku.
Kulihat rambutnya bergoyang. Pasti ia mengangguk.
‘Apa kau membenciku?’
Lagi-lagi dahiku berkernyit dibuatnya. Aku menurunkan white board itu dari depan wajahku agar aku bisa wajahnya.
“Apa maksudmu?” tuntutku.
Ia menulis lagi. Tak lama kemudian ia tunjukkan padaku. Lagi-lagi terlalu dekat dengan wajahku. Jadi aku menggeser tempat dudukku agak kebelakang lalu kubaca.
‘Aku tak pernah minta siapapun untuk menutupi aib ini.’
Hatiku merasa gak enak.
“Apa kau mendengar semuanya?” tanyaku.
Kali ini white board-nya bergerak naik turun diikuti kepalaku yang mengikuti gerakannya.
‘Tuhan! Apa aku keterlaluan, ya? Apa aku terlalu terburu-buru mengambil keputusan? Mana yang harus kupilih? Jadi orang jahat dan mendapat ketenaran tapi diliputi rasa tidak tenang dan rasa bersalah? Atau jadi orang baik tapi harus siap melepas semuanya?’
Cukup keras aku berpikir sampai ia mengagetkanku dengan white board-nya yang berisi tulisan,
‘Jangan sampai salah langkah. Pikirkan yang terbaik untuk oppa. Karena setuju atai tidak, mau atau tidak, aku sudah senang kok bisa ngobrol dengan oppa.’
Mataku meliriknya yang kali ini tersenyum tulus kepadaku. Membuat kepalaku makin pening karenanya. Aku mendesah pelan. Tiba-tiba ia mencolekku lagi. Ia menunjukkan white board-nya ketika aku menoleh.
‘Kenapa? Senyumku gak manis, ya?’
Pppfh! Aku menahan tawaku sendiri.
“Kau polos sekali. Sama sekali gak benci?”
Ia menggeleng mantap.
“Baiklah. Mianheyo. Mau temenan denganku?” tanyaku sambil mengacungkan jari kelingkingku padanya.
Matanya membesar menatap kelingkingku.
“Kelingkingku kan gak bulat, Cuma panjang. Mau gak?” tanyaku lagi sambil menggoyang-goyangkan kelingkingku.
Tanpa ba bi bu, ia segera mengaitkan kelingkingnya yang mungil. Tanpa sadar kami saling tertawa bersamaan dengan hembusan angin Januari yang dingin.
Apa aku gak konsisten? Apa aku kalah dengan senyum polosnya? Tuhan!!! XDDD
yaaaaa.. cukup sekian dulu ff comeback saya.mohon dimaklumi dan juangan luuupppaaaa RCL yuaaaa!!! mpe ketemu di part SELANJUTNYA..